MAHARMU KURANG SHALEH MAS

Salah satu syarat pernikahan di katakan sah manakala terpenuhinya mahar atau maskawin. Mahar merupakan suatu harta yang wajib di berikan oleh seorang lelaki kepada calon istrinya sebab akad pernikahan, sebagaimana yg di katakan oleh Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i

  الصداق هو المال الذي وجب على الزوج دفعه لزوجته بسبب عقد النكاح.

Artinya: “Maskawin ialah harta yang wajib diserahkan oleh suami kepada istri dengan sebab akad nikah.”

Sementara Dalil pensyariatan mahar, termaktub dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:

                                            وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً 

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”

Konteks Mahar dalam pernikahan di zaman sekarang tergolong sesuatu yang sakral, sehingga banyak masyarakat beranggapan bahwa mahar harus bernilai mahal, sebab menjadi tolak ukur derajat sosial dari seorang wanita yang akan di persunting. Namun anggapan demikian di tolak oleh sebagian kalangan, sebab tidak semua keabsahan bisa di nilai dengan kata mahal, oleh karena tidak memandang sebuah ke-mahal-an maka cinta bisa menyatukan orang yang miskin dan yang kaya

Dalam islam tidak ada standar minimal dan maksimal mahar/maskawin, mengutip pendapat abi syujak dalam tadzhibnya :

                                     ليس لأقل الصداق ولالأكثره حد

"tidak ada batasan maximal dan minimal mahar", 

sekalipun ada pendapat yang memberi batasan jumlah mahar, akan tetapi hal itu tidak menjadi ukuran mutlaq.

terbukti dengan hadist yang menceritakan bahwa ada seorang perempuan yang menikah dengan lelaki yang maharnya sepasang sandal.

ان امرأة من بني فزارة تزوجت على نعلين. فقال راسول الله صلى الله عليه وسلم : أرضيت من نفسك و مالك بنعلين، قالت : نعم. فأجازه

 "Seorang wanita dari Bani Fazara menikah dengan mahar dua sandal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "apakah Kamu ridha akan dirimu dan hartamu dengan mahar dua sandal. Dia menjawab: iya ya Rasulullah."

Pertanyaan besarnya apakah di zaman ini ada perempuan yang rela di nilai tukar dengan mahar sepasang sandal???.(Sebagai celetuk mungkin ada tapi hal itu adalah sebuah konten youtube).

Lambat laun kesederhanaan mahar dengan sendal itu mulai sirna bahkan tiada, sebab sudah tergantikan dengan sesuatu yang sederhana pula, namun uniknya  sesuatu yang sederhana itu masih merupakan bagian dari perangkat ibadah yaitu seperangkat Alat Sholat.

Sepintas mungkin iya iya saja, namun ketika di pikir ulang, bahwa seorang wanita muslimah tanpa harus di Mahar-i/di emas kawinkan dengan seperangkat Alat Sholat, dia (wanita muslim) tetep terkena hithap kewajiban melaksanakan solat dan sudah pasti mempunyai seperangkat alat sholat baik sejadah dan mukenah, apalagi kalau wanita yang di nikahi adalah seorang putri kiai (sebut saja eneng) yang notabenenya adalah wanita solihah, pastinya sudah jadi gudang mukenah.

Sehingga ada komentar kalau memang seperangkat alat sholat kenapa tidak dengan mushollahnya?

Kalau mengaca Rasulullah, tatkala menikahi umi habibah, maharnya 1000 dinar pendapat lain mengatakan 400 dinar, jadi pantas saja dalam sebuah pidatonya sayyidina umar mengatakan :

“Wahai kelompok perempuan, kamu jangan mahal-mahal ketika minta mahar. Kalau saja ada yang berhak paling mahal, tentu putrinya Rasulullah dan istri-istri Rasulullah. Saya bersaksi mahar pada istri-istrinya Nabi dan putri-putrinya Nabi itu tidak melebihi angka sekian.”

Sekalipun tidak semahal mahar dari istri istri Rasulullah, setidaknya perlu memperhatikan dan memperhitungkan nilai kepantasan sebagai penghormatan dalam menentukan mahar untuk menikahi seorang wanita, sehingga sama sama rela

📢Simplenya jangan terlalu sederhana memahami dalil kesederhanaan mahar.

Dengan demikian perlu kiranya ada sebuah perubahan yang dapat menggantikan kebiasaan menggunakan mahar denga seperangkat alat sholat dalam pernikahan

(Taufik Hidayaturrahman)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kategori Objek Zakat

Konsep Produksi & Konsumsi dalam Al-Qur'an